Skip to main content

Selendang Merah di Tepi Sungai Rhein

Hari pertama di ahkir musim dingin itu terlihat begitu cerah. Langit didandan baru dengan gelombang-gelombang awan putih yang tidak teratur. Percikan tercecer awan-awan kecil di bawah langit biru memikat mataku. Saya sungguh menikmati pancaran cahaya mentari waktu itu. Saya duduk di atas sebuah bangku coklat, dekat sebuah pohon cemara yang masih meranggas. Pohon-pohon itu meranggas sebagai kenangan musim gugur di tahun 2018. Sesekali saya menatap langit berawan terasa jauh lebih indah daripada ketika saya melayangkan pandangan jauh ke depan dan cuma warna biru langit. Langit itu indah kalau berawan. Langit itu semakin indah apalagi kalau terlihat ada pelanginya. Ku coba pindah posisi sambil terus mendayung sepedaku. Dari kejauhan terlihat seorang ayah bersama putranya dan seekor anjing kecil. Mereka berjalan searah denganku. Di depan mereka sedang berjalan berlawanan arah seorang perempuan bersama suaminya. Perempuan itu mengenakan selendang (Schal) berwarna merah, yang dililitkan pada bagian lehernya. Ujung Schal ditaruh dibelakang punggungnya, jauh lebih panjang sampai sejajar lututnya. Seekor anjing berwarna putih itu tiba-tiba saja menarik ujung selendang ibu itu. Ibu setengah baya itu membalikkan badannya sambil tetap mememegang ujung selendang merah yang sedang ditarik-tarik anjing putih itu. Spontan ibu itu mengatakan, wow wow schön, wow wow schön. Lalu ibu itu semakin mendekati anjing itu. Saya melihat satu ujung selendang ada ditangan sang ibu, sedangkan ujung yang satunya ada dalam kaitan taring anjing kecil itu. Aneh menurutku waktu itu. Ibu itu selanjutnya mengelus-ngelus anjing itu. Terasa sekali, ibu itu memerlakukan anjing itu seperti layaknya anjingnya sendiri. Demikianpun aneh, anjing itu berdiri meloncat-loncang dengan kedua kaki depannya persis di telapak tangan sang ibu. Ketika ibu itu melepas kedua kaki anjing itu tanpak masih sempat tersangkut satu benang merah dari taring anjing kecil itu.

 

Sobekan kecil dari selendang merah memperlihatkan pesona pesan yang unik siang itu di pesisir sungai Rhein di sekitar Mainz Kastel. Saya berhenti dan ingin sekali mengabadikan moment itu cuma saya terlambat mengeluarkan Handy dari saku Jacketku. Saya berhenti mendayung sepeda dan tertegun melihat kejadian unik itu. Sambil mengulang kata-kata ibu itu dalam hatiku, wow wow schön saya mendayung sepedaku terus meninggalkan tempat kejadian itu. Terbersit satu gagasan dari imajinasiku siang itu, „seekor anjing ternyata bisa punya cara untuk berkomunikasi dengan manusia. Lalu, mengapa manusia kadang tidak punya cara untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dengan alam sekitarnya. Atau mengapa selalu ada miskomunikasi yang tidak bisa diselesaikan dengan kata-kata, wow wow schön.“ Manusia mengenal yang namanya „satu benang merah". Kebanykan orang berusaha mencari benang merah ketika suatu persoalan di pandang dari Perspektiv yang berbeda dan terhubung dengan Asek-aspek lainnya. Atau lebih tepat benang merah menurut Kamus besar bahasa Indonesia: sesuatu yangg menghubungkan beberapa hal (faktor) sehingga menjadi satu kesatuan (kiasan). Ketika saya merenungkan kembali kisah di atas itu, saya mulai mengerti bahwa anjing itu telah melukiskan sesuatu, tidak hanya sebuah simbol kesetiaan, tetapi juga memperlihatkan adegan tentang Beziehung atau Verhältnis antara alam dan manusia. Satu hubungan baru dari arah yang terbalik. Mengapa? Banyak orang menyebut hubungan antara manusia dan alam. Tapi dari kisah itu, saya melihat perspektif baru yang dipresentasikan oleh seekor anjing kecil tu. Sebuah Beziehung atau Verhältnis yang dimulai dari seekor anjing. Saya sungguh menghargai inisiatif yang tampaknya sporadis dan intuitif itu. Terkadang saya berpikir bahwa tidak cukup bagi manusia untuk melihat dunia ini dengan cara yang sama atau dari sudut pandang yang sama. Lebih penting dari filosofi ini adalah saya melihat pesan profetis dari kisah itu, yakni alam itu telah bangun dari tidur nyaman di pangkuan manusia, sang penguasa. Dan sekarang saatnya tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan kecil kembali mengajari manusia. Mestinya manusia sadar dan mau belajar juga dari alam. Tanpa perlu banyak metode Hermeneutik yang ideal untuk menafsir alam ini. Satu hal yang perlu adalah keberanian untuk mengkontemplasikan alam ini dan melihat hubungan-hubungan baru terkait hidup manusia. Ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus dapat menjadi referensi penting untuk melihat lebih dalam seperti apa konteks hubungan manusia dan alam dewasa ini. Menarik sekali tulis Paus Fransiskus: „Alles ist miteinander verbunden.“ Dan Lebih mendasar lagi adalah kalimat ini: „Wenn die ökologische Krise ein Aufbrechen oder ein Sichtbarwerden der ethischen, kulturellen und spirituellen Krise der Moderne bedeutet, können wir nicht beanspruchen, unsere Beziehung zur Natur und zur Umwelt zu heilen, ohne alle grundlegenden Beziehung des Menschen zu heilen.“ - Jika krisis ekologis berarti pecahnya atau visualisasi dari krisis modern di bidang etika, budaya dan spiritual, maka kita tidak dapat mengklaim untuk menyembuhkan hubungan kita dengan alam dan lingkungan tanpa menyembuhkan semua hubungan mendasar manusia. Ensiklik ini menulis juga bahwa budaya Relativismus adalah suatu penyakit yang sering dipakai manusia menjadikan alam dan yang lainnya sebagai objek.

 

Selendang merah (ein roter Schal) membuka satu Tirai baru perspektiv yang menantang arogansi manusia modern yang hampir tidak peduli lagi akan benang merah indahnya perdamaian antara alam dan manusia. Saya ingat akan sebuah legenda dari Flores. Legenda tentang seorang ibu bernama Émbe Zero yang datang ke tengah kampung untuk mengadu karena warga telah membunuh suaminya Sawi Jawa. Èmbe Zero tidak datang sendiri, melainkan ia datang dengan seekor anjing. Protes tentang kejahatan manusia itu mesti dilawan dengan kesetiaan sang ibu. Kesetiaan sang ibu bisa mengubah perspektif manusia tentang alam dan kebenaran ciptaan ini. Alam itu adalah berkat terbaru yang Tuhan berikan kepada manusia. Bukan kutukan, tetapi alam itu adalah berkat. Demikian pesan singkat legenda itu. Legenda tentang ibu dan seekor anjing itu menjadi aktual ketika orang bisa menemukan benang merah dalam konteks dunia modern atau Eropa misalnya. Oleh karena itu wow wow schön menjadi semacam yel yel perdamaian antara manusia dan alam. Bahkan wow wow schön mestinya juga menjadi lagu singkat di dalam keseharian manusia. Thomas Laubach dan Christoph Lehmann menulis syair indah dan sangat mendalam seperti ini: „Wo Menschen verbünden, den Hass überwinden und neu beginnen, ganz neu, da berühren sich Himmel und Erde, dass Friede werde unter uns.“-Dimana Manusia terjalain satu sama lain, maka kebencian akan teratasi dan yang baru akan dimulai, semuanya menjadi baru dengan cara baru, di situlah langit dan bumi saling menyentuh, bahwa kedamaian itu akan datang dan tinggal di antara kita. Mengapa demikian? Kitab Kejadian mencatat bagaimana kisah Tuhan menciptakan alam ini. Ia memberkati dan melihat: „semua itu baik dan sungguh amat baik“ (Kej 1,1-31). Wow wow schön, wow wow indah.

 

Bencana alam dan kesalahan manusia dewasa ini telah menimbulkan banyak tuduhan kepada manusia itu sendiri, bahkan kesalahan kecil bisa menjadi alasan untuk menyeret orang ke pengadilan dan dihukum penjara. Rasionalnya, manusia jaman ini tidak terlalu peduli dengan yang namanya benang merah yang memacu manusia untuk melihat sebuah persoalan lebih tenang dalam hubungan-hubungan dengan banyak hal lainnya. Manusia jaman ini tidak cukup sabar untuk menggulung selendang hingga berjumpa kembali dengan yang paling kecil dan mengatakan wow wow schön. Ego, kecemburuan sosial, arogansi manusia begitu sering menghalangi mata manusia untuk melihat keindahan alam ciptaan ini. Keindahan itu tidak hanya karena berbeda bentuknya tetapi juga karena beda cara pendekatannya. Lihat cara seekor anjing kecil membangun komunikasi dengan seorang ibu dalam cerita di atas. Mestinya manusia mengatakan ini dalam perjumpaan yang sekalipun aneh atau memalukan, wow wow schön. Demikian juga apa kata manusia ketika melihat bencana alam ini. Terdengar ada banyak tuduhan terhadap Tuhan. Seakan-akan Tuhan tidak punya kuasa untuk mengatasi semua kelemahan, malum ini. Saya pernah membaca buku yang ditulis oleh Josef Haspecker. Dalam bukunya Der Biblische schöpfungsbericht Naturwissenschaft und Gottesoffenbarung, ia menulis demikian: „das ist nicht gemeint als wirres Durcheinander nach einer Zerstörung, wie etwa bei den Trümmen einer bombardierten Stadt, sondern eher als unfertig, noch ohne volle Form und Struktur. - Ini tidak dimaksudkan sebagai kekacauan yang membingungkan setelah kehancuran, seperti pada puing-puing sebuah kota yang dibombardir, tapi sebagai yang belum selesai, masih tanpa bentuk dan struktur yang penuh. wow wow schön, unfertig. Di hari Perempuan sedunia ini, sepantasnya semakin banyak orang merenungkan kisah kesetiaan sang Ibu.