Antara Figura Etymologica dan Seni mengaktifkan makna Pancasila
Di sudut kota Straßburg hari ini (Sabtu 3.11.2018), saya habiskan waktu untuk menikmati suasana damai bersama Michael dan Christina. Terasa sekali bahwa hari ini menjadi lain dari hari-hari kemarin. Suasana kota di wilayah Perancis ini menampilkan macam-macam wajah. Di sana bisa ditemukan wajah kota sejarah. Di sana kita menemukan juga wajah kota seniman. Tidak hanya itu, ada rupa yang lain, yang tidak kalah menariknya yakni wajah arsitektur dan tata kota. Masih juga ada wajah dan suasana kota yang bisa ditemukan di sana, seperti wajah orang Afrika dan Arab. Singkatnya, kota Straßburg memiliki rona wajah pluralitas. Ya, keberagaman yang damai tanpa kecurigaan dan perpecahan. Suatu keberagaman yang merangkum perbedaan-perbedaan dalam Uni Eropa. Kota Straßburg bagiku adalah kota inspirasi. Di kota Straßburg saya menemukan bendera Indonesia. Tidak hanya itu, di Straßburg pada hari ini saya menemukan kembali simbol, kata, figura, bahkan angka sejarah bangsaku sendiri, Indonesia. Sabtu, 3 November 2018 telah menjadi satu kenangan. Saya mengabadikan gambar yang bertuliskan "libertie“ atau Kebebasan. Lalu pada sudut kota yang sama pada tiga tahun yang lalu, saya melihat sebuah simbol yang tinggi dari kemegahan gedung parlemen EU yang tanpak seperti tercabik atau bangunan yang belum selesai dibangun. Gambar dinding atas parlemen EU itu bukan berarti rusak karena bencana, tetapi dimaknai sebagai unfertig atau belum selesai. Lalu pada sebuah lorong kecil, saya menemukan satu figura dan angka 1945. Saya menyimpan gambar itu sebagai sebuah kenangan istimewa karena gambar itu telah menyeret saya ke sudut pemahaman tentang "figuraEtymologika." Dari istilah „Figura Etymologica“, saya menemukan contoh-contoh untuk menjelaskan istilah asing itu, seperti pada kata libertie. Maaf kalau saya tidak memberikan definisi dari istilah "figura etimologica" tetapi saya memiliki contoh-contoh aktual untuk menjelaskannya. Contoh pertama, saya mulai dari kata libertie atau kebebasan, Figura Etimologica dari kata kebebasan adalah kebebasan yang membebaskan. Kata kedua adalah saya tertarik dengan sejarah kota Straßburg itu sendiri yang tidak pernah luput dari cerita perang dan Soldaten= atau tentara atau militer. Maka, Figura Etymologicanya menjadi militer yang militeristisch atau Soldaten yang soldatisch. Saya kira contoh kecilku sudah cukup membantu siapa saja untuk mengerti istilah "Figura Etymologica."
Perjumpaan saya dengan figur seorang yang seakan terbang, lalu di tengah-tengahnya bertuliskan angka 1945, bagi saya merupakan suatu Aufklärung atau suatu Pencerahan. Sejujurnya pikiran saya waktu itu begitu cepat diarahkan kepada satu peristiwa istimewa bangsa Indonesia, yakni tahun kemerdekaan bangsa, tahun 1945. Dari figura itu, saya mengerti peristiwa tahun 1945 itu tidak hanya sebagai tahun kemerdekaan yang memerdekaan, tetapi juga sebagai tahun kebangkitan yang membangkitkan gairah hidup anak bangsa. Pada tahun yang sama, bangsa Indonesia belajar „lepas landas“. Atau juga dalam gaya „Figura Etymologica“ bisa dikatakan sebagai tahun kebebasan yang sungguh membebaskan bangsa ini dari penjajahan. Mula-mula hati kecilku bertanya, kebebasan untuk apa? Saya terus menyusuri pesisir sungai Ill di Straßburg dengan fokus ingin menemukan jawaban, kebebasan untuk apa? Secara kebetulan sekali ada satu bentangan kain di gantung di pinggir jalan di samping sebuah gedung yang sedang renovasi. Pada layar kain itu tertulis: Creatio:Rènovation & Dèkoration, Conception & Rèalisation. Saya mengambil gambar beberapa kali dari tulisan itu. Sepintas saja, saya menemukan sebuah gagasan yang sangat aktual. Kata temanku Michael Meffert: Vielleicht hat es eine tiefe Bedeutung-Mungkin itu memiliki arti yang sangat dalam. Waktu itu, pikiranku terhubung dengan angka 1945. Kata hatiku: apa hubungannya 5 kata Perancis ini, lalu bendera Indonesia dan tahun 1945. Langit hari itu begitu cerah, bahkan saya bisa dengan mudah memotret bayangan pohon yang setengah meranggas di atas sungai Ill. Pesona seperti tiga dimensi itu mambangkitkan intuisi untuk menjawab teka-teka angka dan bendera bangsaku sendiri. Apakah Straßburg adalah kota keajabaian? Mengapa ada bendera bangsaku dan angka 1945 pada suatu figura yang lepas landas?
Lima kata bahasa Perancis itu, bagi saya adalah suatu Aufklärung atau Pencerahan untuk lebih memahami Pancasila yang bagi saya terlalu jarang bangsa ini merefkeksikannya. Pancasila tidak cukup kalau dihafal, tetapi mesti direnungkan dan dimengerti artinya. Pancasila perlu dikonfrontasikan dengan berbagai realitas bangsa yang penuh dinamika dan bhineka. Selanjutnya saya coba membaca Pancasila secara baru dan aktual dari rahim negara Perancis, negeri para Filsuf itu.
1. Creatio
Kata pertama ini terkait erat dengan ungkapan dalam Schöpfungstheologie atau teologi penciptaan dalam tutur aslinya, "creatio ex nihilo" atau penciptaan dari ketiadaan. Istilah ini berasal dari teologi Kristen awal (Tatian dan Theophilus dari Antiokhia) yang bertentangan dengan filsafat Yunani. Kalimat ini ada sejak Melissos menjadi substansi yang kekal dan tidak teratur (chaos), karena tidak ada yang bisa menjadi sesuatu yang mustahil ("ex nihilo nihil fit").
Dari perspektif monoteistik, muncullah pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab penciptaan dunia. Dan umumnya hingga sekarang orang percaya bahwa Pencipta satu-satunya adalah Tuhan.
Kata pertama bahasa Perancis itu ditulis dengan warna yang berbeda, mungkin untuk menjelaskan artinya mencipta. Kalau dihitung warna pada kata Creatio itu ternyata persis tujuh warna. Angka 7 sama dengan angka yang tertulis dalam Kitab Kejadian 2, 2-3. Allah menyelesaikan pekerjaanNya pada hari ketuju, lalu Ia memberkati dan menguduskan hari ke tujuh itu. Kalau toh kata Creatio terhubung kepada konsep tentang Tuhan, maka kata Creatio memiliki arah yang sama seperti sila pertama Pancasila: Ketuhanan yang maha Esa. Artinya seluruh bangsa Indonesia menerima konsep Ketuhanan ini sebagai satu sila dalam konsep dasar negaranya. Tujuannya adalah agar seluruh warga negara mengakui Tuhan yang satu sebagai Pencipta satu-satunya. Konsep ini sangat menolong seluruh warga negara untuk memahami statusnya baik secara institusional maupun secara personal. Artinya, urusan kepemilikan segala hal yang telah Tuhan ciptakan ini, mesti memperhatikan juga aspek tanggung jawab pemeliharaan atau tanggung jawab pengolahan. Tanggunj jawab untuk ber-creatio itu jauh lebih penting dari tanggung jawab kepemilikan apa lagi sebuah insititusi berusaha mengambil alih status creator yang sudah menyejarah ke status kepemilikan dengan paksa. Hanya Tuhan yang menjadi pemilik dari segala sesuatu yang ada. Creator, oris f (creo) schöpfer atau Pencipta. Karena itu, jangan saling mengklaim atau merampas sehingga menjadi milik pribadi. Atau bahkan mulai mencari-cari bukti untuk pengklaiman. Sesuatu yang diciptakan dan diberikan mesti diterima dan dipelihara, dirawat, dikreasi agar Tuhan tetap diakui pada sisi yang utama, dan pada sisi yang lainnya ruang kreasi manusia tetap ada untuk menopang kehidupan dan persaudaraan. Creator itu cuma hanya satu, yakni Tuhan. Sedangkan manusia diberikan kebebasan untuk berkreasi dan bukan untuk mengeksploitasi. Di mana ada pemilik tanah yang usianya panjang? Mengapa? Barangkali itu, karena Tuhan sudah mulai bosan melihat manusia-manusia sombong yang selalu berusaha merampas kursi sang Creator.
2. Rénovation
Kata Perancis ini kalau dalam bahasa Jerman memiliki genus feminim. Mungkin genus ini bisa memberikan satu perspektiv yang baru terkait dengan sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab. Sekali lagi konfrontasi logis ini hanya bermaksud agar bangsa Indonesia semkin menyadari identitas dirinya. Barangkali kata Rénovation itu adalah percikan cahaya Aufklärung yang membantu bangsa ini melihat ke dalam diri dan menemukan bahwa usia kemerdekaan ini mirip seperti sebuah rumah tua, yang sebagian besar bagian-bagiannya sudah mulai rusak, sehingga membutuhkan upaya-upaya intensiv Rénovation atau renovasi. Kalau tidak percaya bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab itu sudah rusak, lihatlah kasus tanah suku Paumere misalnya. Di manakah peri kemanusiaan itu kalau aparat negara seenaknya saja merendahkan rakyat sebagai yang "munafik dan separatis." Saya pikir kualitas aparat negara seperti itu sebetulnya sudah rusak, maka butuh sebuah Rénovation atau renovasi. Maaf saya tidak sebut reformasi karena kata reformasi itu tidak berdampak lagi atau Reformatornya mesti dimasukan ke panti Re-Therapie agar ia bisa lebih mengerti lagi Pancasila nanti. Karena itu era paska reformasi ini, lebih baik disebut era Renovasi, yakni sebuah era di mana semua institusi berusaha membaharui diri atau memperbaiki konsep tentang kemanusiaan yang adil dan beradab. Sekali lagi sila kedua Pancasila ini tidak cukup dihafal tapi dipelajari hingga dapat membawa dampak perubahan dan pembaharuan bagi seluruh rakyat Indonesia dan teristimewa bagi aparat negara dan pemerintah.
3. Décoration
Dunia mengagumi Indonesia, dengan berbagai macam alasan seperti sebuah negara di Asia tenggara yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Negara yang pernah dijajah begitu lama, tetapi tidak pernah menjadi miskin dan sungguh melarat, tetapi malah bangkit dan diperhitungkan dunia. Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, bahasa, adat istiadat, seni, dan lain-lainnya. Seorang teman asal Afrika pernah sekali ke tempat perkumpulan orang Indonesia di Frankfurt Jerman mengatakan: Indonesien ist sehr schön und wirklich ein Wunder von Himmel -Indonesia itu sangat indah dan benar-benar sebuah keajaiban dari Surga. Mengapa? Katanya dia menemukan semua wajah manusia di dunia ini ada di Indonesia. Wajah Arab ada di sana, wajah Meksiko juga ada di sana, wajah India ada juga di sana, wajah China, Jepang, Korea ada banyak di sana, wajah Afrika juga ada di sana. Wajah seperti orang Barat juga ada di sana. Hati kecil saya berbunga-bunga. Indonesia itu adalah sebuah Dekorasi yang diberikan Tuhan untuk dunia. Dekorasi ini akan tanpak indah dan semakin indah jika persatuan Indonesia tetap di jaga. Persatuan Indonesia ini bagaikan bingkai yang mengapit sisi-sisi keberagaman ini agar tanpak sebagai satu kesatuan yang kuat. Pertanyaan sekarang, mengapa mesti ada pilar batas tanah tanpa prosedur yang transparan? Kita satu, mengapa ada batas? Pengayom, mengapa jadi pencaplok? Indah kalau keberagaman ini cuma satu bingkai untuk suatu gambar kebhinekaan Indonesia.
4. Conception
Kata bahasa Perancis ini, bisa dimengerti sebagai pengertian atau konsepsi. Sedangkan dalam ilmu Biologi dimengerti sebagai pembuahan. Bahkan dalam kosa kata Jerman bisa dimengerti sebagai suatu perkembangan (Entwicklung). Dari pengertian-pengertian yang ada ini, sangat jelas bahwa lembaga-lembaga negara adalah institusi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan atau dengan kata lain, mereka adalah orang-orang yang memiliki konsepsi, pengertian yang bijaksana dalam urusan rakyat. Konsepsi ini mesti terlihat jelas ketika rakyatnya dalam suatu persoalan misalnya. Apa kata Dewan Perwakilan Rakyat? Dewan Perwakilan Rakyat mesti menyuarakan suara rakyat dengan hikmat dan kebijaksanaan. Apa yang bisa dikatakan Dewan Perwakilan Rakyat adalah bukti dari sebuah konsepsi dari sila Pancasila khususnya sila ke-4. Sebaliknya, jika DPR tidak punya suara ketika rakyatnya berteriak minta tolong karena hak dan kebebasan suara mereka dirampas, maka sebetulnya DPR kita tidak punya konsepsi apa-apa atau tidak mengerti dengan benar Sila ke-4 Pancasila. Maaf barangkali gedung DPR kita perlu segera di Rénovasi. Era baru telah tiba, mari kita Rénovasi rumah rakyat, sambil renungkan ini: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Réalisation
Kata kelima ini merupakan kata yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat, yakni realisasi. Kata Réalisation muncul selalu terakhir, tetapi tidak berarti datang terlambat. Karena kata ini selalu ada di depan dari suatu pernyataan dan janji-janji para pemimpin. Misalnya: „Saya ini adalah Bupati, saya pasti membela masyarakat, dan lain-lain.“ Pernyataan seperti ini tidak pernah berakhir dengan kata „titik“, tetapi masyarakat yang kreatif akan menulis koma di dalam hati lalu menulis di Facebook, koran Online, dan lain-lainnya adalah kata Réalisation. Mengapa? Mari kita baca bersama sila ke lima dari Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa artinya sila kelima Pancasila, jika keadilan sosial tidak tidak dirasakan, tidak dialami oleh masyarakat. Di manakah realisasi dari sila Pancasila? Siapakah yang harus merealisasikannya? Masyarakat? Atau Pemerintah?
Pada satu kaca di kota Straßburg ada juga tulisan ini nice things. Di akhir tulisan ini saya hanya mau mengatakan bahwa Figura Etymologica adalah tidak lebih berarti dari nice things milik bangsa kita, yakni Pancasila yang dipahami lebih dari sekedar hafal. Figura Etymologica tidak lebih dari mengakui Tuhan sebagai pemilik segala sesuatu, bahkan bangsa ini perlu mulai langkah baru Rénovasi agar konsepsi kita lebih hikmat dan bijak, supaya bangsa ini bisa terlihat lebih indah. Asalkan jangan lupa sebuah realisasi nyata. Nice things.
Suara dari Uzu Watu Manu Paumere