Skip to main content

Angklung: suatu Melodi Tobat

Filipi 3 , 21: „Ia yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.“

Saya masih ingat kisah perjalanan saya dari Mainz ke Wilhem-Kempf-Haus di Wiesbaden dua tahun yang lalu. Waktu itu bertepatan dengan Workshop Angklung MKIF. Saya berangkat dengan menggunakan Bus. Semestinya menggunakan Bus itu sangat praktis, akan tetapi terkadang kelemahan pribadi seperti mengantuk ketika dalam perjalanan itu menyulitkan diri sendiri. Waktu itu saya baru sadar dari tidurku setelah satu Haltestelle telah lewat dari tempat yang mestinya saya turun. Saya memutuskan untuk turun dari Bus dan menunggu kendaraan lain yang akan kembali ke arah Rumah retret Wilhem-Kempf-Haus. Di situ sedikit ada hutan dan jalan setapak. Pikirku, kalau lewat jalan setapak itu saya bisa sampai ke tempat yang kutujui. Namun waktu itu saya masih ragu-ragu. Di samping Haltestelle itu ada tempat parkir mobil. Di situ cuma ada satu mobil Jaguar. Sambil menunggu Bus untuk kembali saya mengamati dan mengagumi keindahan mobil itu. Sekitar 10 menit kemudian, seorang pemuda datang ke arah mobil itu. Saya langsung mendekatinya dan bertanya, apakah jalan setapak ke hutan itu sampai ke Wilhem-Kempf Haus. Katanya, tidak tahu.

Pemuda itu sangat ramah. Dia bertanya, ke mana saya akan pergi. Saya menjawab dengan singkat bahwa saya mau ke rumah retret Wilhem-Kempf-Haus. Lanjutnya, kalau kamu mau, bisa ikut dengan saya. Waktu itu suasana hatiku campur aduk. Ada rasa senang karena bisa menikmati bagaimana rasanya dari hutan dengan mobil Jaguar. Meskipun perjalanan cuma 10 menit tetapi berhasil mengacaukan pikiran saya. Pemuda itu memperlakukan saya bagai orang istimewa. Padahal aku orang biasa saja. Ia membuka pintu mobilnya dan mempersilahan masuk, demikian juga waktu berhenti ia memberi tangannya dan mengatakan, Viel Spaß. Saya mengatakan, vielen Dank, Gott segne dich. Katanya balik, nichts zu danken. Waktu itu, pikiranku berdebat dengan diriku sendiri. Kataku, ini gara-gara Angklung, aku sampai tersesat. Lalu, gara-gara Angklung aku bisa dihantar dengan mobil Jaguar. Ada apa ini?

Pengalaman hari itu terus mengganggu pikiran saya sampai ketika hari terakhir hendak merayakan Ekaristi untuk grup Angklung di Kapela rumah retret itu. Saya terus menedengar seperti suatu melodi dengan syair yang sederhana: ini semua gara-gara Angklung. Pagi sebelum Ekaristi mulai, saya meditasi 30 menit di kamarku sendiri tentang „Angklung.“ Mula-mula pikiran saya terarah ke bahan dasar dari alat musik ini. Bahan dasarnya adalah dari bambu. Bambu kalau di Flores dijual dengan harga yang murah. Bahkan terkadang tidak laku atau bisa dikatakan tidak ada harganya. Bambu bisa didapatkan tanpa harus membeli dan bisa juga dibuang tanpa harus menyesal. Meskipun demikian, ketika potongan bambu itu diambil oleh Sang Seniman yang telah memiliki konsep untuk mengubahnya menjadi alat musik, maka bambu sepotong itu bisa menjadi sangat berarti karena bisa menghasilkan nada-nada. Sang Seniman terus mengubah sepotong bambu itu sesuai dengan tuntutan kualitas yang dimilikinya. Misalnya, bambu itu harus dikeringkan, dipotong, dilubangi, dibuatkan ukuran yang berbeda-beda, dililit dengan tali, dll. Bambu itu terus diubah oleh Sang Seniman hingga bentuknya berubah dan menghasilkan nada yang berbeda-beda. Bahkan dari potongan-potongan bambu itu bisa diubah menjadi satu melodi yang sempurna.

Ketika fungsinya berubah bambu hampir tidak dikenal lagi. Orang mengenalnya Angklung dan bukan lagi bambu kering. Angklung yang berbeda ukuran menghasilkan nada yang berbeda pula. Angklung bisa menjadi instrumen yang dapat dimainkan di panggung kehormatan orang-orang yang punya hajatan. Bambu kering sudah berubah wajah hingga sering mendapat sambutan sorak tepuk tangan di Gereja dan di mana-mana. Tahukah Anda, siapa yang membuatnya? Dialah seorang Seniman yang berhasil mengubah bambu kering menjadi nada-nada. Hidup ini mungkin tidak lebih berarti dari bambu kering kalau tidak diubah. Hidup manusia menjadi berarti justru karena diubah oleh Sang Seniman, Pencipta kita. Sang Seniman punya waktu dan rencana untuk mengubah manusia. RencanaNya adalah agar manusia bisa menjadi suatu melodi yang khas sehingga bersama yang lain membentuk suatu keharmonisan. Bersama dengan nada-nada yang lain bisa mengiringi lagu kehidupan kita. Waktunya adalah sekarang, saat ini, ketika Pra Paskah tiba. Itulah saatnya kita dipersiapkan untuk diubah menjadi nada-nada yang memberikan citarasa damai bagi sesama. Sang Seniman membutuhkan bambu-bambu kering itu agar Ia cukup punya waktu 40 hari mempersiapkan konser kehormatan Paskah nantinya. Inilah melodi sang bambu kering:

Aku terhormat,

Aku didengarkan di mana-mana karena aku diubah oleh Seniman Sejatiku.

Nadaku adalah karya tanganNya.

Nadaku adalah melodi Cinta Sang Seniman yang mengubah.

 

Aku bukan lagi bambu kering, tetapi aku adalah alat musik.

Aku harus dimainkan dengan rasa dan hatimu.

Suaraku bisa menggetarkan jiwamu.

Suaraku adalah nada-nada sesal dan syukur

 

Melodi kami perlahan-lahan mengubah hati

Melodi cinta saat usai diubah

Kembali bersyukur karena aku bukan lagi bambu kering

Kembali bersujud dengan melodi tobat karena Senimanku telah mengubahku jadi nada...nada